Uji Kompetensi Guru Masih Diwarnai Keluhan
JAKARTA, KOMPAS — Untuk memperbaiki kualitas pendidikan, tahapan terpenting ialah memperbaiki kualitas guru terlebih dahulu. Terkait hal itu, kualitas "pabrik" guru, yakni Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, perlu diperbaiki. Upaya membenahi profesi guru optimal jika didukung kebijakan yang berpihak kepada profesi guru.
Hal itu dikemukakan Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo yang didampingi Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan PGRI Mohammad Abduhzen dan anggota Dewan Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Itje Chodijah, saat ditemui secara terpisah, Selasa (17/11), di Jakarta.
Menurut Itje, pembenahannya harus dimulai dari ujung, di pabrik guru itu. "Coba dilihat lagi, calon-calon guru itu diajar oleh dosen dan dari LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) dengan kualitas seperti apa. Karena tidak ada standar pendidikan calon guru, hasilnya bisa macam-macam. Ini yang dibenahi karena di situlah lahir orang-orang yang mendidik generasi penerus bangsa," katanya.
Bagi PGRI, kata Sulistiyo, selain LPTK, kebijakan yang berpihak kepada guru seharusnya mampu meningkatkan profesionalitas, kesejahteraan, dan perlindungan terhadap guru. Namun, kebijakan pemerintah sampai sejauh ini masih menyentuh permukaan saja, belum menggali masalah mendasarnya. "Guru menanti kebijakan yang bukan basa-basi seolah-olah sayang dan peduli kepada guru, padahal kebijakan substansi yang ditetapkan sesungguhnya menyulitkan, meresahkan, dan bahkan menganiaya guru," katanya.
Kebijakan yang dibutuhkan guru, Sulistiyo mencontohkan, pengangkatan guru guna mengatasi kekurangan guru. Masalah kekurangan guru ini terjadi di hampir semua kabupaten/kota. Namun, sejauh ini pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan terkait pengangkatan guru.
Terkait peningkatan kompetensi guru, Mohammad Abduhzen menjelaskan, seharusnya akhir tahun ini semua guru sudah harus berkualifikasi S-1 atau D-4 dan bersertifikat pendidik dengan dibiayai pemerintah dan pemerintah daerah. Itu sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 82 Ayat (2) dan Pasal 13 Ayat (1). Namun, apa yang terjadi sekarang, baru sekitar 50 persen guru bersertifikat pendidik dan 40 persen guru yang berkualifikasi S-1 atau D-4.
Pemerintah diharapkan melaksanakan pembinaan karier dan profesionalitas dengan benar. Sayangnya, kata Sulistiyo, pemerintah justru menguji guru terus dengan uji kompetensi guru (UKG). Padahal, menurut Sulistiyo, UKG tak akan mampu menggambarkan kompetensi guru sesungguhnya. Kalaupun diikuti dengan penilaian kinerja guru, sejauh mana pemerintah mampu menjamin bahwa penilaian kinerja itu dilakukan dengan benar dan mampu disatukan dengan nilai UKG dengan tepat.
Joki ujian
Terkait ujian kompetensi, dari posko pengaduan UKG yang dibuka Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dilaporkan ada joki ujian yang tertangkap tangan sedang mengerjakan ujian atas nama orang lain di Pandeglang, Banten. Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti mengatakan, saat dimintai keterangan oleh dinas pendidikan setempat, guru yang menyewa joki itu mengaku mengajar di jenjang SD dan membayar jasa joki karena dirinya sudah berusia lanjut dan gagap teknologi. "Guru itu juga takut hasil ujiannya itu memengaruhi tunjangan sertifikasi," kata Retno.
Selain masalah joki UKG, FSGI juga menerima laporan adanya peserta ujian yang memfoto soal dengan telepon genggam lalu mengunggahnya ke media sosial. Guru juga mengeluhkan soal pedagogi yang dikaitkan dengan pembelajaran Kurikulum 2013, padahal mayoritas guru masih menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
"Mereka mengeluhkan nilainya rendah karena tidak mampu menjawab soal pedagogi karena mereka belum pernah mendapat pelatihan Kurikulum 2013," kata Presidium FSGI Lalu Saepudin.
Aduan lain ialah adanya pungutan Rp 50.000 per guru untuk memperoleh kartu peserta UKG. Padahal, pemerintah jelas-jelas mengumumkan UKG tidak dipungut biaya apa pun. Aduan itu datang dari Sulawesi Utara.
Terkait puncak peringatan Hari Guru pada 13 Desember mendatang di Gelora Bung Karno, Jakarta, Sulistiyo mengumumkan, tahun ini penyelenggaraan puncak peringatan hanya akan dilakukan PGRI. Biasanya PGRI bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama.
Peringatan Hari Guru nasional setiap 25 November bertepatan dengan hari lahir PGRI. Kemudian terbit Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Penetapan Hari Guru Nasional tanggal 25 November 1994. "Sejak 1994, PGRI selalu merayakannya bersama pemerintah. Tahun ini agak berbeda," kata Sulistiyo. (LUK)
Sumber : http://print.kompas.com/baca/2015/11/18/Dinanti,-Kebijakan-Berpihak-pada-Guru